Blitar, HarianForum.com : Sambalnya dibuat menggunakan bahan baku tempe bosok (busuk) atau tempe yang mengalami fermentasi lanjutan yang lebih lama, diolah dengan racikan bumbu serta santan, biasanya disajikan bersama nasi dan sayur ditambah rempeyek. Nasi tumpang meskipun makanan sederhana yang harganya terjangkau namun salah satu makanan rakyat, memiliki sejarah yang pernah dicatat dalam Serat Centhini atau Suluk Tambanglaras ( 1814 – 1823 ), sebuah karya sastra Jawa yang menggambarkan kehidupan dan budaya masyarakat Jawa pada abad 19.
Nasi tumpang atau dikenal masyarakat pada saat ini pecel tumpang, merupakan makanan khas dari era kerajaan Mataram Islam yang terdiri atas nasi dengan kuah berupa sambal tumpang, telah menyebar di beberapa kota di Jawa Tengah hingga Kediri dan kota-kota sekitarnya. Menjadi makanan khas Kediri, sambal tumpang biasanya dinikmati dengan rebusan sayuran atau irisan kecil pepaya muda. Namun dalam penyajian nasi tumpang Kediri terdapat perbedaan dengan kota di sekitarnya. Salah satunya kota Blitar, sambal tumpang disajikan bersama nasi pecel dan dikenal dengan nasi pecel tumpang.
Ainun Zaky warga kelurahan Sananwetan, kecamatan Sananwetan, kota Blitar mengaku hampir 4 tahun berjualan nasi pecel, terkadang mengkombinasikan dengan sambal tumpang. Menurutnya tidak semua pembeli berminat mencobanya, namun begitu ada beberapa pelanggan yang meminta ditambah sambal tumpang.
“Jualan disini nasi pecel sama seperti nasi pecel yang yang lainnya. Tetapi disini juga menyediakan sambal tumpang, untuk dipersiapkan kalau ada yang minta ditambah sambal tumpang, atau mungkin hanya nasi sambalnya tumpang. Tapi masih banyak pembeli yang minta nasi pecel seperti biasanya,” tutur Ainun setiap harinya berjualan di depan kantor Dinas Sosial Kota Blitar, kecuali hari Minggu.
Dalam menjalani rutinitasnya Ainun lebih memilih menekuni usaha berjualan kuliner yang dapat dijangkau oleh semua kalangan. Berjualan nasi pecel tumpang dimulai semenjak duduk di perguruan tinggi semester VI, selain mengikuti jejak neneknya yang berjualan di kota Kediri, Ainun juga memberikan alasan ingin melestarikan masakan khas dengan mengenalkan dan mengembangkan di kota Blitar. Menurut pendapatnya, dengan berwirausaha dirinya belajar memiliki tanggung jawab terhadap jatuh bangun usahanya, memanajemen tenaga, waktu maupun keuangan yang baik serta memaksimalkan potensi diri hingga bisa menambah relasi.
Disinggung modal yang digunakan untuk memulai usaha, alumni Universitas Islam Balitar jurusan akutansi menandaskan, mengawali usaha diperlukan modal yang tidak besar. Tempat usaha tidak menyewa, sedangkan peralatan yang digunakan milik orang tuanya. Nasi pecel tumpang belum dilirik pembeli, jatuh bangun dalam merintis usaha telah dirasakan. Namun Ainun tetap bertahan, walaupun dalam pikirannya, dibutuhkan modal untuk kebutuhan jualan selanjutnya.
Sementara selama berjualan tidak pernah ada pemberian bantuan modal dari pemerintah daerah setempat atau pemerintah kota, namun justru uluran bantuan modal berasal dari salah satu anggota DPR RI Dapil Jawa Timur 6 yang digunakan membeli gerobak dan peralatan yang dibutuhkan untuk kelanjutan usahanya.
“Modal awal paling membeli bahan-bahan. Tempat untuk berjualan tidak menyewa sedangkan peralatannya memanfaatkan yang ada.Kalau bantuan dari pemerintah disini tidak pernah menerima, meskipun beritanya banyak modal diberikan untuk UMKM. Malah dari anggota DPR RI partai Nasdem pernah menerimanya, yang saya gunakan untuk membeli gerobak dan peralatan memasak yang baru,” pungkasnya.(Ans).