Nyadran, Tradisi Leluhur yang Tetap Hidup di Tengah Masyarakat Nganjuk

Berita, blog72 Dilihat

Nganjuk, JendelaDesa.com– Di tengah gempuran modernisasi, masyarakat pedesaan di Kabupaten Nganjuk tetap menjaga warisan budaya leluhur melalui tradisi Nyadran. Upacara adat ini biasanya digelar menjelang bulan Ramadan atau pada bulan Suro, sebagai bentuk doa dan penghormatan kepada arwah leluhur. Tradisi Nyadran juga dilakukan sebagai bentuk syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat dan bentuk rasa syukur yang dirasakan.

Nyadran sendiri juga memiliki makna yang sangat luas, seperti rasa kesyukuran yang dirasakan, mengenang jasa leluhur dan mendoakannya agar mendapatkan ketenangan di alam barzah, memperkuat ikatan sosial dengan bersedekah, serta menjaga keharmonisan antar warga.

Nyadran adalah tradisi bersih desa yang dilakukan dengan cara ziarah kubur, tahlilan, dan kenduri bersama. Masyarakat berkumpul di pemakaman umum desa, membawa makanan dalam tampah, lalu berdoa bersama dipimpin oleh tokoh agama setempat. Setelah doa, makanan tersebut disantap bersama atau dibagikan ke tetangga sebagai bentuk sedekah.

Nyadran sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang. Bukan hanya soal makan bersama, tapi juga syukur dan menjaga hubungan serta silahturahmi yang baik antar warga. Dengan adanya momen ini dapat menguatkan rasa gotong royong yang menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat Jawa yang memiliki jiwa sosial tinggi.

Pemerintah daerah dan tokoh budaya di Nganjuk turut mendukung pelestarian tradisi ini melalui berbagai kegiatan budaya, termasuk Festival Nyadran yang diadakan di beberapa kecamatan untuk mengedukasi generasi muda. Sehingga tradisi seperti ini harus terus dijaga, karena merupakan kekayaan budaya yang mengandung nilai-nilai spiritual, sosial, kemanusiaan, dan sejarah.