Ropingi el Ishaq Kobarkan Semangat Sumpah Pemuda di Era Modern

Berita38 Dilihat

Blitar, JendelaDesa.Com – Sumpah pemuda, istilah yang tidak asing bahkan telah mendarah – daging bagi bangsa Indonesia. Sumpah pemuda telah menjadi kesadaran publik bangsa Indonesia, bahkan telah bertengger di alam bawah sadar. Secara historis, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 316 tahun 1959, pemerintah Indonesia telah menetapkan tanggal 28 Oktober sebagai Hari Nasional Sumpah Pemuda. Penetapan hari nasional tersebut dilandasi Kongres Pemuda II pada tanggal 28, yang melahirkan Ikrar Sumpah Pemuda hingga ditetapkannya hari sumpah pemuda, dikandung maksud untuk mengenang dan mengambil spirit persatuan dan perjuangan para pemuda.

Sumpah pemuda memiliki nilai perjuangan yang sangat tinggi dan menjadi ketetapan jati diri bangsa Indonesia, merupakan salah satu tonggak utama pendorong semangat pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dari peristiwa sumpah pemuda, pada akhirnya mengantarkan bangsa Indonesia untuk memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka.

Untuk melestarikan warisan spirit sumpah pemuda, di setiap tanggal 28 Oktober selalu diselenggarakan peringatan Hari Sumpah Pemuda dengan menggelar upacara bendera, tidak hanya dilaksanakan di instansi – instansi pemerintah, akan tetapi peneguhan ikrar satu tanah air (tanah air Indonesia), satu bangsa (bangsa Indonesia), dan satu bahasa (bahasa Indonesia), juga diperingati masyarakat umum dengan berbagai kegiatan. Tidak hanya dengan menggelar upacara, peringatan sumpah pemuda dilakukan dengan menggelar istighosah, diskusi publik, bedah buku, dan kegiatan yang lainnya.

Peringatan hari sumpah pemuda sangat perlunya dipahami sebagai peneguhan peran pemuda dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenapa, secara historis berbagai perubahan yang terjadi selalu diinisiasi oleh pemuda, dengan menilik proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agusrtus 1945, diawali dari desakan para pemuda kepada Soekarno dan Mohammad Hatta di Rengasdengklok. Kongres pemuda pertama tahun 1926 melahirkan kesepakatan gerakan pendidikan dan kongres pemuda, sedangkan konggres kedua pada tahun 1928 telah melahirkan sumpah pemuda, juga dilakukan para pemuda.

Di dua dekade sebelumnya dan tepatnya pada tahun 1908, atas inisiasi Dr. Wahidin Soedirohoesodo dan dipelopori oleh Dr. Sutomo bersama para pelajar School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen (STOVIA) di Batavia, telah berdiri Perkumpulan Budi Utomo. Tujuan para pemuda mendirikan gerakan Budi Utomo tidak lain untuk meningkatkan kesadaran kehidupan masyarakat melalui peningkatan akses pendidikan, kualitas hidup, serta seni dan budaya. Gerakan Budi Utomo didirikan sebagai respon atas kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang membatasi akses pendidikan pribumi.

Saat ini, pendidikan dapat diakses oleh hampir setiap anak bangsa. Merujuk data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2025, telah menyebutkan angka partisipasi sekolah anak diusia 7 – 12 tahun mencapai 99,17%. Untuk anak usia 13 – 15 tahun sebesar 96,02%, sedangkan angka partisipasi sekolah anak usia 16 – 18 tahun, sebesar 74,35%. Sementara, dari sisi kualitas hidup, relatif jauh lebih baik bila dibandingkan dengan sebelum era kemerdekaan. Indonesian Social Survey telah merilis bahwa kualitas hidup bangsa Indonesia di tahun 2025, berada di posisi cukup baik, yakni di angka 65,02%.Dengan indikator kesejahteraan ekonomi, kesejahteraan psikologi, kesehatan, kualitas lingkungan, keamanan, rasa percaya dan partisipasi politik.

Lalu, untuk apa spirit sumpah pemuda dalam konteks kekinian, di saat pendidikan dan kualitas kehidupan sudah baik ?.

Ada beberapa alasan, mengapa spirit sumpah pemuda masih relevan hingga pada saat ini. Pertama, fakta sejarah menunjukkan bahwa berdirinya gerakan Budi Utomo, Kongres Pemuda dan Kongres Pemuda Keturunan Arab di awal abad ke – 20 merupakan sebuah kondisi dimana pendidikan mulai membaik. Di masa itu, Belanda sedang menyelenggarakan program politik balas budi dengan memberikan akses pendidikan meski terbatas, kepada pribumi. Sedangkan dalam konteks ekonomi, program peningkatan ekonomi juga sedang berjalan melalui program tanam paksa.

Kedua, fakta sosial telah menunjukkan bahwa pendidikan warga pribumi di awal abad ke – 20 sedang menghadapi kenaikan. Belanda menjalankan program politik balas budi dengan bentuk memberikan akses pendidikan kepada warga pribumi. Tetapi akses pendidikan tersebut terbatas dan tentu kualitasnya tidak sebagus pendidikan untuk anak-anak Belanda.

Saat ini kualitas pendidikan kita bangsa Indonesia, juga belum seperti yang diharapkan. Sebuah hasil riset mencatat system pendidikan di Indonesia menempati posisi kelima dari 10 negara di Asia. Ditambah lagi masih banyak anak bangsa yang belum mampu mengakses pendidikan yang berkualitas. Banyaknya jumlah pengangguran terbuka menunjukkan bahwa akses pendidikan yang diperoleh anak bangsa belum mampu mendongkrak kualitas hidup. Realitas ini mirip dengan yang terjadi di awal abad ke – 20, pada saat sumpah pemuda dikumandangkan.

Ketiga, indeks kualitas hidup dari hasil survei yang dilakukan, tidak selalu menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Apalagi hasil survei hanya menunjukkan bahwa kualitas hidup masyarakat Indonesia masih masuk kategori cukup baik, dengan angka 65,02%. Angka tersebut menunjukkan bahwa kualitas hidup masyarakat masih jauh dari harapan. Pengangguran mencatat angkat yang tinggi, dimana data BPS telah mencatat angka pengangguran terbuka di Indonesia di tahun 2025 ini mencapai 4,76%, setara dengan 7,27 juta jiwa, tetapi tertinggi diantara negara – negara se – Asia.

Indonesia sebuah negara yang kaya dengan sumber daya alam, tetapi kualitas hidup rakyatnya hanya pada level cukup bagus. Hasil sumber daya alam dikuasai oleh sedikit orang, maka bila merasakan kenyataan yang ada tidaklah jauh berbeda disaat jaman Belanda. Warga pribumi dalam kondisi miskin, sementara Belanda menikmati mayoritas sumber daya alam yang tersedia.

Hingga sampai pada titik saat ini, relevansi pesan sumpah pemuda masih dapat dirasakan, artinya meski kondisi saat ini berbeda dengan masa sumpah pemuda, tetapi secara substansial memiliki nilai yang sama. Bangsa Indonesia menghadapi tantangan yang tidak berbeda dengan sembilan puluh tujuh tahun yang lalu, pada saat sumpah pemuda diucapkan. Yakni rendahnya komitmen kebangsaan, ringkihnya persatuan dan kesatuan, serta jauhnya prinsip keadilan di tengah masyarakat.(*).

* pengamat sosial politik, akademisi Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syekh Wasil Kediri.