FMR Minta ATR/BPN Blitar Benahi Data dan Tingkatkan Evaluasi Program PPTPKH

Blitar, JendelaDesa.com – Front Mahasiswa Revolusioner (FMR) mendesak kantor ATR/BPN Kabupaten Blitar mengoreksi data, memperbaiki proses administratif serta memastikan tidak ada penyimpangan dalam pelaksanaan program sertifikasi tanah, khususnya terkait kasus permohonan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Murtomo, warga dusun Kedungbiru, desa Bululawang, kecamatan Bakung, kabupaten Blitar.

Mencuatnya kasus tersebut, pasca ditemukan kekeliruan pendataan dalam program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), juga adanya nama pihak lain yang tercatat sebagai pemohon sertifikat atas tanah yang selama lebih 20 tahun dikuasai dan dikelola oleh Murtomo.Kuasa hukum Murtomo, Mohammad Trijanto, S.H., M.M., M.H., C.Me., Sp.Ptn., CPLA., yang juga pendiri sekaligus advokat, mediator bersertifikat dan konsultan hukum utama Revolutionary Law Firm, telah mengirim surat resmi kepada ATR/BPN Kabupaten Blitar untuk meminta pemeriksaan ulang, perbaikan data, dan penegakan kepastian hukum atas objek tanah tersebut.

Ketua FMR, Septyani Dwi Ningrum menegaskan, bahwa persoalan ini tidak boleh dianggap sepele karena menyangkut hak masyarakat kecil yang rentan tersisih akibat kesalahan administrasi.

“Negara tidak boleh abai terhadap hak rakyat. Jika terdapat kekeliruan data dalam program TORA maupun permohonan sertifikat, ATR/BPN wajib melakukan koreksi terbuka. Jangan sampai masyarakat kecil yang telah puluhan tahun mengelola tanahnya sendiri justru menjadi korban birokrasi ” tegas Septyani Dwi Ningrum, Rabu (19/11).

Selain itu, FMR juga menyoroti pelaksanaan Program Penataan Penggunaan Tanah Kawasan Hutan (PPTPKH) di Kabupaten Blitar. Sesuai perencanaan awal, program ini difokuskan untuk penertiban dan sertifikasi pemukiman, fasilitas umum (fasum), dan fasilitas sosial (fasos).

“Namun, FMR menemukan dugaan penyimpangan berupa masuknya banyak bidang lahan kosong yang justru akan disertifikasi,” ujarnya.

Septyani menandaskan, bahwa temuan tersebut sangat kontra produktif dengan tujuan awal PPTPKH dan harus segera dievaluasi.

“Ketika program untuk pemukiman, fasum, dan fasos justru disisipi lahan kosong yang tidak jelas penguasaannya, maka wajar jika masyarakat berasumsi bahwa ada ‘titipan’ dari oknum-oknum tertentu. ATR/BPN harus mengevaluasi total agar arah program tidak melenceng dari tujuan,” tandasnya.

Program PPTPKH di Kabupaten Blitar pada tahun ini direncanakan menerbitkan 4.388 sertifikat hak milik yang tersebar di berbagai area kehutanan.

“Total luas kawasan hutan yang telah dilepaskan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk program ini mencapai 262,47 hektar,” jelas Septyani.

Septyani menegaskan, bahwa program ini dibiayai oleh APBD dan APBN, sehingga pelaksanaannya harus bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

“Dana negara sudah digelontorkan. Program ini tidak boleh dikotori tindakan KKN. Jika ada penyimpangan, itu bukan sekadar kesalahan administratif, tetapi melecehkan agenda reformasi agraria,” tegasnya.

FMR mendesak ATR/BPN Blitar untuk, melakukan verifikasi ulang secara menyeluruh terhadap seluruh data permohonan sertifikat, mengoreksi setiap temuan ketidaksesuaian secara terbuka, melakukan investigasi internal untuk memastikan tidak ada permainan data atau kepentingan terselubung dan mengembalikan fokus PPTPKH pada pemukiman, fasum, dan fasos, bukan lahan kosong tanpa dasar penguasaan.

“FMR akan terus berdiri di sisi rakyat. Bila perlu, kami siap turun ke lapangan, melakukan investigasi independen, hingga menggelar aksi. Negara harus hadir dengan tindakan nyata yang melindungi hak masyarakat kecil,” pungkas Septyani.

Dengan sorotan publik yang semakin besar, masyarakat berharap berbagai persoalan agraria di Kabupaten Blitar dapat diselesaikan dengan cepat, transparan, dan akuntabel demi menjaga keadilan serta kepastian hukum. (Ans).