Kejagung Bongkar Mafia Minyak! 7 Pejabat Pertamina dan Swasta Terjerat Kasus Korupsi

Berita683 Dilihat

Jakarta, JendelaDesa.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menetapkan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan minyak mentah dan produk kilang. Kasus yang terjadi dalam periode 2018 hingga 2023 ini turut menyeret enam tersangka lainnya dari lingkungan PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

Enam tersangka lainnya yang terseret kasus tersebut adalah Soni Dinar Saifuddin (Direktur Optimasi Feedstock and Product PT Kilang Pertamina Internasional), Yoki Firnandi (Direktur Utama PT Pertamina Shipping), Agus Purwono (Vice President Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional), Muhammad Kerry Andrianto Riza (PT Navigator Khatulistiwa), Dimas Werhaspati (Komisaris PT Navigator Khatulistiwa/Komisaris PT Jenggala Maritim), dan Gading Ramadhan Joedo (Komisaris PT Jenggala Maritim/Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak).

 

Dalam keterangan resminya, Kejagung mengungkap bahwa PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli bahan bakar jenis Pertalite dengan harga Pertamax, lalu melakukan praktik “blending” atau pengoplosan di storage/depo agar menjadi bahan bakar berstandar Ron 92 (Pertamax).

“Tersangka Riva Siahaan melakukan pembelian Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah, kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92,” ungkap Kejagung dalam konferensi pers, Selasa (25/2/2025).

Praktik ini dinyatakan ilegal karena menyebabkan manipulasi harga dan potensi penyalahgunaan subsidi BBM.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, menjelaskan bahwa kasus ini bermula dari kebijakan pemerintah yang mewajibkan PT Pertamina untuk memprioritaskan minyak mentah dari dalam negeri sebelum melakukan impor. Namun, dalam praktiknya, Riva Siahaan dan beberapa tersangka lainnya diduga sengaja mengondisikan agar produksi minyak bumi dalam negeri berkurang, sehingga justru mendorong impor dengan harga yang lebih tinggi.

Lebih lanjut, ditemukan indikasi adanya markup dalam pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang, yang dilakukan oleh tersangka Yoki Firnandi. Kejagung menyebut bahwa tindakan ini mengakibatkan pembengkakan biaya subsidi BBM dan menimbulkan kerugian negara yang sangat besar.

Dalam perhitungan awal, Kejagung menyebut bahwa kerugian negara akibat skandal ini mencapai Rp193,7 triliun. Kerugian ini berasal dari empat faktor utama yakni Kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, Kerugian impor minyak mentah melalui perantara (broker), Kerugian impor bahan bakar minyak (BBM) melalui broker, dan kerugian dari pemberian kompensasi serta subsidi yang membengkak.

Abdul Qohar menegaskan bahwa para tersangka melakukan pertemuan dalam rapat optimalisasi hilir untuk membuat seolah-olah produksi kilang dalam negeri menurun. Hal ini menjadi dasar bagi mereka untuk melakukan impor minyak mentah dengan nilai kontrak yang sudah dimarkup sebelumnya.

“Tersangka Riva Siahaan, Soni Dinar Saifuddin, dan Agus Purwono melakukan pengkondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang, sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya, dan akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor,” ujar Qohar.

Kejagung telah melakukan berbagai tindakan hukum dalam mengusut kasus ini, termasuk pemeriksaan saksi, penyitaan dokumen, dan pemblokiran aset yang terkait dengan para tersangka.

Kasus ini menjadi salah satu skandal terbesar dalam sejarah Pertamina dan diharapkan menjadi momentum untuk reformasi tata kelola energi di Indonesia. Kejagung memastikan bahwa mereka akan terus mendalami keterlibatan pihak lain dan menindak tegas pelaku yang terbukti merugikan keuangan negara.

Dengan besarnya nilai kerugian yang ditimbulkan, masyarakat menantikan proses hukum yang transparan dan akuntabel agar keadilan dapat ditegakkan serta mencegah praktik serupa di masa mendatang.