Sekdes Desa Karangtengah Bagor Nganjuk Diduga Intimidatif, Sorotan Tajam: Adab, Etika, dan Ketaatan Hukum Pejabat Desa Dipertanyakan

Berita100 Dilihat

Nganjuk, JendelaDesa.com – Dunia pemerintahan desa kembali tercoreng. Publik digegerkan oleh dugaan perilaku intimidatif seorang Sekretaris Desa (Sekdes) di Kabupaten Nganjuk yang diduga membentak awak media dan anggota LSM saat wawancara di kantor desa. Insiden ini tidak hanya melukai etika komunikasi publik, tetapi juga mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap wibawa pemerintahan desa.

Kejadian bermula ketika awak media dan LSM hendak mengkonfirmasi Kepala Desa terkait persoalan tertentu. Namun, bukannya mendapat jawaban terbuka, Sekdes justru bereaksi dengan nada tinggi, membentak, bahkan terkesan mengintimidasi pihak media dan LSM. Sikap arogan ini sontak menuai kritik keras, terutama dari LSM GMBI Kabupaten Nganjuk. Rudi Budi Hamsah, Kadiv Investigasi Distrik GMBI Nganjuk, yang juga menjadi korban langsung dari sikap tersebut, mengecam keras tindakan Sekdes.

“Saya sangat menyayangkan hal tersebut. Apalagi kejadiannya di ruang kantor pemerintahan desa. Adab dan etika pejabat publik sangat saya pertanyakan. Apakah di Nganjuk sikap arogan seperti itu diperbolehkan? Pejabat desa itu pelayan masyarakat, bukan raja kecil yang bebas membentak rakyatnya,” tegas Rudi.

Perilaku kasar seorang pejabat desa tidak bisa dipandang sepele. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan jelas menegaskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa harus berlandaskan asas keterbukaan, profesionalitas, akuntabilitas, hingga kepastian hukum.
Pasal 48–50 UU Desa mengatur bahwa perangkat desa, termasuk Sekdes, wajib membantu Kepala Desa, melaksanakan administrasi, sekaligus bertanggung jawab penuh dalam menjaga hubungan baik dengan masyarakat.

Asas-asas pemerintahan desa menegaskan prinsip keterbukaan, profesionalitas, dan kepentingan umum. Membentak dan mengintimidasi media jelas bertolak belakang dengan asas tersebut.
Dalam perspektif Hak Konstitusional, Pasal 28F UUD 1945 memberikan jaminan kepada setiap orang untuk mencari, memperoleh, serta menyampaikan informasi. Sikap intimidatif pejabat publik dapat dianggap menghalangi hak ini.

LSM dan masyarakat kini mendesak agar insiden ini tidak dianggap angin lalu. Pemerintah Kabupaten Nganjuk melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) diminta mengambil sikap tegas. Bila terbukti bersalah, Sekdes dapat dikenai sanksi disiplin perangkat desa sesuai peraturan perundang-undangan, bahkan bisa menjadi dasar desakan lahirnya Peraturan Bupati Nganjuk tentang Kode Etik Pejabat Desa.

Selain itu, publik menuntut adanya sosialisasi etika komunikasi publik dan pelayanan masyarakat kepada perangkat desa. Hal ini mendesak agar kasus intimidasi tidak berulang, sekaligus menegaskan kembali bahwa pejabat desa bukanlah penguasa, melainkan pelayan rakyat.

Kasus ini menjadi tamparan keras bagi wajah pemerintahan desa. Di saat masyarakat mendambakan keterbukaan informasi, masih ada pejabat yang bermental feodal dan arogan. Jika dibiarkan, budaya intimidatif akan merusak kepercayaan publik sekaligus mencederai amanat UU Desa.

Pemerintahan desa seharusnya menjadi benteng demokrasi paling dekat dengan rakyat. Namun, jika perilaku aparatnya justru mencerminkan arogansi, maka pertanyaan besar pun muncul: Apakah etika dan adab pejabat desa di Nganjuk masih hidup, atau sudah mati suri?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *