Blitar, HarianForum.com – “kurang lebih 8 bulan yang lalu, pernah saya sampaikan tentang serapan anggaran daerah di Kabupaten Blitar dari total APBD 2,8 triliun di tahun 2025 di pertengahan triwulan kedua, pada kisaran kurang lebih 610 Miliar atau 23,10 persen.Sedangkan 23,10 persennya itu merupakan belanja terbesarnya untuk belanja rutin, belanja pegawai, gaji, tunjangan, tunjangan penghasilan, perjalanan dinas, event kegiatan dan juga kegiatan seremonial yang lain. Nah untuk belanja modal, diantaranya belanja infrastruktur, perbaikan jalan, pelatihan dan lainnya itu hanya sekitar 3 persen atau sekitar 18 miliaran.”terang Mujianto, S.Sos, M.Si, menjawab pertanyaan HarianForum.com menyikapi pemberitaan terkait penyerapan anggaran di satuan kerja Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang ( PUPR ) Kabupaten Blitar, meski di bulan November 2025 namun serapan anggaran masih berkisar 20 persen.
Ketua Perhimpunan Pergerakan Indonesia ( PPI ) Blitar melanjutkan penjelasan, bahwa rendahnya serapan anggaran kemungkinan bisa terjadi karena perencanaan yang lemah, sehingga menjadi kendala dalam pelaksanaan.Adanya kendala kemungkinan besar dampak dari peralihan kepemimpinan daerah, atau juga pergantian kepala organisasi perangkat daerah ( OPD ), yang mana dibutuhkan waktu untuk menyusun program yang berhubungan dengan penggunaan anggaran.
Mujianto menambahkan, terlambatnya pelaksanaan program dan rendahnya penyerapan anggaran selain lemahnya perencanaan di masa transisi pengelolaan pemerintahan daerah dan panjangnya prosedur birokrasi serta timbul kekhawatiran dengan resiko hukum bila terjadi kesalahan. Dan kondisi tersebut bisa menjadi terlambatnya proses pelaksanaan, terlebih lagi sebelumnya terjadi penanganan hukum terhadap beberapa pihak yang terkait dengan pelaksanaan program, membuat traumatis para pengguna anggaran, sehingga dalam pelaksanaan berupaya lebih teliti dan hati – hati untuk menghindari sanksi hukum.
Mujianto mengungkapkan, juga pentingnya bagi kepala daerah bila terjadi trouble sistem yang berdampak terhambatnya atau bahkan berpotensi terhentinya pelayanan publik. Dalam pendapatnya, dibutuhkan kesigapan serta respon yang cepat dari kepala daerah dan langkah maupun keputusan yang diambil, diharapkan dapat meminimalisir ketidaknyamanan publik. Sikap responsif kepala daerah sebagai sebuah bentuk tanggung jawab yang dapat membangun kepercayaan publik.
“pejabat di satuan kerja perangkat daerah membantu kepala daerah melaksanakan tugas pemerintahan, memberikan pelayanan kepada masyarakat sebaik – baiknya.Aparatur sipil negara, berperan sebagai perencana, pelaksana serta pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional” ungkapnya(11/11/2025).
“Pelaksana OPD adalah ASN yang bekerja di dalam struktur OPD, merupakan motor penggerak paling penting dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik, serta pelaksana pembangunan di daerah. Maka diharapkan aparatur di pemerintahan memiliki kualifikasi dan kompetensi sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dimana dalam menjalankan tugas tidak dipengaruhi atau mungkin ditekan kepentingan politik, serta menghindar dari praktik korupsi, kolusi, nepotisme bila tidak ingin menghadapi sanksi hukum.
Menurut saya penting bagi bupati, disaat ada trobel terhadap sistem, bupati harus sigap dan berani mengambil keputusan. Karena bupati merupakan birokrat tulen selain menciptakan good governance harus memahami transformasi governance.
Transformasi governance itu proses perubahan fundamental dalam tata kelola pemerintahan atau organisasi, yang bertujuan menciptakan sistem yang lebih efisien, transparan, responsif serta akuntabel, seringkali dengan dukungan teknologi digital dan reformasi administratif” tambah Mujianto. (Ans)
