
Blitar, HarianForum.com – Rencana pemerintah kota Blitar akan melakukan revitalisasi terhadap lantai 2 pasar Legi kota Blitar yang nantinya selain digunakan pasar kreatif, sebuah ruang publik untuk promosi dan menjual produk maupun jasa kreatif dari para pelaku usaha masyarakat lokal. Tidak hanya itu, revitalisasi lantai 2 pasar pada masa kolonial Belanda pernah menjadi tempat pertemuan para pedagang pribumi lokal maupun dari luar daerah serta etnis Tionghoa, juga akan diberdayakan sebagai area street food atau tempat berdagang makanan lokal.
Dibutuhkan anggaran 1 miliar untuk revitalisasi Pasar Legi yang nantinya digunakan hanya terfokus pada proyek fisik, atau untuk menggeliatkan ratusan para pedagang yang sudah puluhan tahun melakukan aktivitas ekonomi, yang mana selama bertahun-tahun menghadapi keterpurukan, seiring dengan bergesernya trend belanja masyarakat, persaingan semakin kompetitif serta daya beli terus menurun, atau bahkan mungkin juga anggaran tersebut digunakan untuk keduanya.
Memiliki hubungan erat terhadap korelasi program dari besarnya anggaran yang dibelanjakan dengan seberapa jauh terjadi perubahan ekonomi maupun sosial masyarakat di tingkat lokal yang lebih baik. Diperlukan partisipasi publik, baik individu atau kelompok swadaya masyarakat untuk melakukan monitoring terhadap pelaksanaan penggunaan anggaran, sebagai upaya terciptanya transparansi dalam pengelolaan keuangan negara.
Program revitalisasi, salah satu gambaran kebijakan yang dilakukan oleh kepala daerah untuk mewujudkan visi dan misinya. Lebih bijaknya, publik juga harus menilai secara obyektif bahwasanya eksekutif bukanlah pembuat keputusan dalam membelanjakan keuangan negara untuk pembangunan. Keputusan
terhadap anggaran pendapatan belanja daerah, akan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat setelah ditetapkan menjadi peraturan daerah (Perda), dimana anggaran yang diajukan oleh kepala daerah atau eksekutif harus mendapat persetujuan dari DPRD atau legislatif.
Diawali dari Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) yang didasarkan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) serta Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS), selanjutnya diajukan ke DPRD untuk dibahas dan disetujui bersama, hingga ditetapkan menjadi Peraturan Daerah (Perda).
Pada tahap pembahasan antara eksekutif dan legislatif, publik hendaknya memasang mata dan telinga, dan sebisa mungkin mengetahui pembahasan yang dijalankan secara transparan dan
akuntabel, juga adanya kebeperpihakan untuk menyerap aspirasi masyarakat atau mungkin juga mengkesampingkan. Dengan mengikuti prosesi tersebut, publik akan bisa membuat kesimpulan dan penilaian kualitas kinerja pemerintah maupun wakil rakyat. Bertemunya kedua lembaga yang mempunyai keterkaitan serta kewenangan anggaran daerah, tidak menutup kemungkinan dalam pembahasan timbul mutualisme, yang sangat rentan terbukanya celah bermain mata.
Ditandaskan pengamat politik Rofi’ i El Ishaq, bahwasanya perencanaan program pembangunan daerah acap kali dilakukan tanpa basis kajian yang matang.Masyarakat tidak dilibatkan, tidak berdasarkan pada problem nyata dan bahkan tanpa roadmap pembangunan yang jelas, sehingga program pembangunan tidak menyelesaikan masalah, atau bisa jadi pembangunan seringkali hanya menjadi alat pencitraan.
“Sudah seharusnya para tokoh masyarakat meningkatkan partisipasi politiknya dengan cara membangun komunikasi intensif dengan anggota dewan maupun dengan pemerintah daerah, namun dengan catatan untuk mengontrol jalannya pemerintahan supaya tidak terjadi perselingkuhan antara eksekutif dan legislatif.” tandasnya kepada HarianForum.com (23/11).
Akademisi Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syekh Wasil Kediri juga mengungkapkan, masyarakat seharusnya lebih kritis terhadap program – program pembangunan di daerah, dan menyuarakan aspirasinya, yang paling efektif menggunakan media sosial untuk mengintensifkan kontrol terhadap pelaksanaan pembangunan daerah dengan “No Viral No Justice”, yang mana program pembangunan jika tidak di viralkan maka akan dijalankan tanpa berdasarkan kepentingan masyarakat.
“Lalu apa yang menjadi standar di dalam pengawasan, tidak lain adalah dokumen visi dan misi kepala daerah yang sudah disusun pada saat mencalonkan. Visi dan misi tersebut harus kita jadikan sebagai kontrak politik pemerintah daerah kepada masyarakat. Dan DPRD, seharusnya menjadikan rancangan visi dan misi sebagai alat ukur sejauh mana pemerintah daerah atau eksekutif menjalankan program-programnya. Jika visi dan misi tidak kita gunakan sebagai alat ukur pelaksanaan pembangunan daerah, maka pemerintah daerah akan berjalan tanpa arah dan akan sulit untuk dikontrol.” pungkas Rofi’ i El Ishaq. (Ans)
