Strategi Bijak Syauqul Muhibbin Memimpin Pemerintah Kota Blitar

Berita900 Dilihat

Blitar, JendelaDesa.com – Ketua Cabang Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) Blitar, Mujianto, S.Sos., M.Si., mengemukakan apa yang disampaikan Syauqul Muhibbin di salah satu media online (10/2), bahwa wali kota Blitar terpilih belum membentuk tim transisi untuk menghormati wali kota yang saat ini menjabat. Menurutnya, keputusan wali kota terpilih yang diusung PKB, Partai Demokrat, dan PAN merupakan sebuah langkah bijak dan dewasa dalam berpolitik, meskipun nantinya setelah pelantikan, tim untuk percepatan pembangunan tetap dibentuk.

Mengikuti perkembangan peralihan pemegang pemerintahan daerah hasil pemilihan kepala daerah 2024 Kota Blitar, penggiat sosial politik yang juga loyalis Anas Urbaningrum mengemukakan bahwa dibentuknya tim percepatan pembangunan setelah pelantikan yang dilaksanakan pada 20 Februari 2025 mendatang bisa dipastikan mengarah pada sinkronisasi program, kebijakan strategis, serta anggaran yang akan berjalan di pemerintahan periode 2025–2030. Hal ini tidak hanya bertujuan untuk optimalisasi kinerja, tetapi juga efisiensi. Selain itu, tidak dibentuknya tim transisi sebelum kepala daerah dilantik memungkinkan pejabat yang akan diganti menyelesaikan program maupun tugasnya dengan paripurna.

“Transisi kepemimpinan lebih tepat dilakukan oleh pejabat baru dengan melakukan komunikasi secara langsung, baik dengan para politisi—terutama yang memiliki kursi di DPRD—maupun dengan pejabat perangkat daerah. Menurut pemikiran saya, ini sebuah langkah bijak dan cerdas. Pembentukan tim transisi setelah ditetapkan sebagai kepala daerah terpilih dan sebelum dilantik, selain tidak efisien, juga sangat rawan dimanfaatkan secara personal untuk kepentingan tertentu,” terangnya saat ditemui di Angkringan Urup Damar Urip yang berada di sekitar kediamannya, di Desa Karangsono, Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar.

Ketua Cabang PPI Blitar juga menandaskan bahwa berdasarkan pengamatannya terhadap pembentukan tim transisi di daerah lain, hingga saat ini dirinya belum memahami tujuan keberadaan tim transisi. Ia masih mempertanyakan apakah tim tersebut dibentuk oleh kepala daerah terpilih atau memang resmi dibentuk oleh pemerintah daerah. Yang diketahui Mujianto, tim transisi idealnya dibentuk ketika proses peralihan pemerintahan dirasa sangat sulit. Berbeda dengan tim percepatan pembangunan yang dibentuk untuk mengawal percepatan pelaksanaan program strategis berdasarkan visi dan misi kepala daerah.

Mujianto menambahkan, bagi kepala daerah terpilih yang diusung maupun didukung oleh partai politik dengan jumlah kursi kurang dari 50 persen di DPRD, masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dengan baik. Menurutnya, kepala daerah terpilih harus mampu melakukan komunikasi politik dengan partai di luar pengusung dan pendukungnya. Setelah dilantik, kepala daerah yang baru harus merangkul semua partai politik di DPRD untuk membangun sinergitas hingga tercipta kolaborasi politik yang mendorong pengambilan kebijakan eksekutif berorientasi pada penyelenggaraan pemerintahan daerah yang partisipatif, akuntabel, transparan, responsif, efektif, efisien, adil, serta inklusif.

“Partai pemenang yang didukung oleh partai mayoritas terkadang masih menemui jalan buntu dan tidak jarang dalam paripurna DPRD mengalami kegagalan karena tidak memenuhi kuorum. Misalnya, agenda rapat paripurna yang akan membahas raperda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD itu penting, tetapi bagaimana komposisi jumlah kursi partai politik yang mendukung dan tidak mendukungnya? Ini harus diselesaikan dengan komunikasi politik. Apalagi pada tahun ini ada kebijakan pemerintah pusat tentang pemangkasan anggaran dana transfer ke daerah yang tentunya berdampak besar terhadap pemerintah daerah, terutama pada program pembangunan dan pelayanan publik yang masih bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat,” tandas Mujianto.

(Ans).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *