Blitar, HarianForum.com- Musim hujan di Indonesia biasanya terjadi pada bulan Oktober sampai bulan Maret, begitu juga pada bulan April hingga bulan September musim berganti dari penghujan berubah kemarau. Namun begitu di sebagian wilayah, tampaknya alam tidak lagi memegang tradisinya, dimana pada bulan Juni seperti biasanya memasuki musim kemarau, akan tetapi yang terjadi hujan masih menunjukkan intensitas tinggi meski frekuensinya menurun.
Dikenal dengan kemarau basah, menurut lembaga pemerintah yang mempunyai tugas melaksanakan tugas di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika, kemarau basah merupakan terjadinya curah hujan di tengah musim kemarau. Fenomena alam kemarau basah, dalam dunia pertanian menjadi sebuah peluang untuk memperluas lahan tanam dan peningkatan produksi dengan adanya pasokan air yang mendukung.Akan tetapi pada kondisi kemarau basah, perluasan lahan pertanian harus disertai pengendalian hama, dimana pada lahan pertanian yang tergenang air, sangat berpotensi terjadi kelembapan yang tinggi, sehingga hama lebih mudah berkembang.
Kejadian alam akibat dari dinamika atmosfer regional dan global, yang mana suhu muka laut hangat dan angin monsun aktif serta La Nina juga Indian Ocean Dipole negatif, mempunyai dampak dua sisi. Disampaukan Prof. Dr. Dwi Andreas Santosa, Guru besar fakultas pertanian IPB University dengan menjelaskan, dengan melihat secara umum terjadinya kemarau basah membawa keuntungan bagi petani tanaman padi dan jagung, dimana petani bisa menanam 2 atau 3 kali. Namun begitu ketua umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) menandaskan, sangat perlunya mewaspadai timbulnya serangan hama tanaman.
“Secara umum untuk tanaman padi dan jagung itu menguntungkan, karena petani bisa menanam 2 kali atau 3 kali. Yang perlu diwaspadai adalah hama, karena bisa terjadi lonjakan serangan hama di tahun ini,” jelas Prof.Dr. Dwi Andreas kepada Harian Forum.com melalui salah satu aplikasi layanan pesan.(12/6).
Ganjar Asmorotanto, S.P., pakar pertanian Blitar menyikapi kemarau basah merupakan musim yang sulit diprediksi oleh petani, meski diakuinya menanam padi atau jagung menguntungkan, dikarenakan ketersedian air. Akan tetapi Ganjar menuturkan, yang menjadi persoalan pada saat tidak konsistennya musim dan anomali cuaca yang terjadi dengan berlangsungnya pemanasan global, petani mengalami kesulitan memilih jenis tanaman yang tepat.
Ganjar Asmorotanto mengungkapkan, tanaman jagung rawan tergenang dan rusak terkena serangan penyakit. Sedangkan tanaman padi, dikhawatirkan hujan tidak betlanjut dan terjadi kekeringan sehingga gagal panen. Sedangkan menurut pemikirannya, bila panen padi terkendala persoalan hujan, jika gabah basah tidak segera dilakukan pengeringan dengan mesin, maka beras berwarna kusam dan kekuningan, atau bisa dikatakan turunnya kualitas beras. Begitu juga dengan tanaman hortikultura, pada kondisi alam saat ini petani harus melakukan proteksi dengan serangan penyakit, busuk akar maupun buah serta gangguan – gangguan lainnya.
“Ya solusinya, pada kemarau basah memilih tanaman yang bandel, misalnya sorgum, sedangkan untuk gabah dan jagung sangat diperlukan untuk menyiapkan mesin pengering.Jika mau menanam padi, gunakan sistem tanam benih langsung, varietas genjah. Dan untuk mengendalikan hama, sebaiknya menggunakan pestisida hayati, ” tutur alumni Institut Pertanian Bogor University.(Ans).