Puluhan Pedagang Pasar Tawang Merasa Tertipu, Dana Ratusan Juta Disetor Tapi Pasar Tak Kunjung Dibangun

Berita45 Dilihat

Nganjuk, JendelaDesa.com- Puluhan pedagang di Pasar Tawang Desa Gemenggeng Kecamatan Bagor, mengaku menjadi korban dugaan pungutan tidak jelas yang telah berlangsung sejak sebelum pandemi COVID-19. Meski telah menyetor dana hingga jutaan rupiah per orang untuk mendapatkan kios, pembangunan pasar tak kunjung terealisasi hingga hari ini.

Dari pengakuan para pedagang, sekitar 140 orang telah menyetor uang sebesar Rp2,5 juta per orang, dengan harapan mendapatkan kios di pasar yang dijanjikan akan dibangun. Namun bertahun-tahun berlalu, tak ada bangunan yang berdiri, bahkan denah kios yang sempat dibagikan pun tidak ditindaklanjuti.

“Waktu itu, kami dikumpulkan oleh Pak Gendut, mantri pasar. Katanya bayar Rp2,5 juta untuk dapat kios, dan sudah ada denah petak-petaknya. Tapi sampai sekarang tidak ada kiosnya, malah tiap bulan masih ditarik sewa dan pajak,” ujar salah satu pedagang yang meminta namanya disamarkan.

Beberapa pedagang juga mengaku sempat menerima semacam buku sertifikat sebagai bukti hak atas kios dari pak Mantri Gendut. Namun, setelah diminta menandatangani, buku tersebut ditarik kembali oleh Pak Gendut mantri pasar. Ancaman pun diterima jika tidak membayar pajak.

“Saya pernah dikasih buku, katanya itu sertifikat kios. Tapi setelah tanda tangan, bukunya diambil lagi. Dibilang kalau nggak bayar pajak, stand saya bisa hilang,” ungkap Anang salah satu pedagang.

Yang lebih memberatkan, meski belum menempati kios dan belum ada bangunan pasar, para pedagang tetap diwajibkan membayar iuran bulanan yang jumlahnya tidak sedikit. Seorang pedagang menyebut harus membayar hingga Rp500 ribu per bulan, di luar pungutan harian lainnya.

“Saya sangat keberatan. Sudah bertahun-tahun bayar, tapi bangunan nggak ada. Tiap bulan kios yang saya tempati harus membayar pajak Rp500 ribu, tiap tahun Rp300 ribu, belum yang harian, pokok yang paling memberatkan saya itu kios yang saya tempati satu bulan Rp500 ribu” keluhnya.

Sosialisasi rencana pembangunan pasar sempat dilakukan di balai desa, bahkan dihadiri oleh pejabat dari dinas terkait dan kepala desa. Namun, pertemuan itu berlangsung tertutup dan tidak membuahkan kejelasan, ” sebenarnya dulu mau dipermasalahkan, tapi sesudah pertemuan di balai desa kok tidak ditindaklanjuti, mungkin orang-orang itu sudah dikasih uang, makanya tidak ditindaklanjuti sampai sekarang ” ujarnya, seorang perempuan dengan nada kecewa.

Kini, para pedagang mendesak pemerintah daerah untuk segera memberikan kepastian terkait pembangunan pasar yang sudah mereka biayai sejak lama. Mereka bahkan menyatakan siap membangun sendiri jika pemerintah tak kunjung bergerak.

“Yang penting sekarang pasar ini segera dibangun. Kalau tidak, kami siap bangun sendiri sesuai perjanjian. Jangan terus-terusan tarik uang tapi tidak ada wujudnya,” tegas perwakilan pedagang.

Samin, petugas Pasar Tawang mengaku kalau ia tidak mengetahui berapa nominalnya ” memang dulu sebanyak 140 orang, tapi sekarang tinggal 80 orang. Itu dulu mantri Gendut Subagio sama Kepala Dinas ” ujarnya.

“Dulu saya pernah narik pajak mereka yang akan menempati, tapi sekarang tidak, dan sudah saya serahkan ke dinas, saya hanya menarik karcis tiap hari dan saya setorkan ke Pak Willi bagian admin di Rejoso ” kata Samin.

Gendut Subagio, yang disebut-sebut sebagai mantri pasar, membantah tuduhan terkait dugaan pungutan atau penempatan tidak resmi di pasar. Ia menjelaskan bahwa proses yang terjadi adalah hasil dari kesepakatan bersama dan telah dilakukan sesuai prosedur yang berlaku pada saat itu.

“Itu dulu swadaya, dan kita tawar harga. Akhirnya dibuatkan buku atau sertifikat penempatan, dan itu kita sosialisasikan. Tidak sebanyak 140 orang jumlahnya,” jelas Gendut saat dikonfirmasi.

Ia menegaskan tidak ada unsur pemaksaan dalam proses tersebut. “Kita tidak memaksa, tapi kita ada aturan. Dulu pasar itu belum tertata resmi ( bodong), akhirnya dicetaklah buku atau sertifikat. Itu dulu saat Pak Erfin dan Pak Erik, keduanya masing-masing memiliki buku sertifikat. Dan atas dasar buku itu, akhirnya ditarik pajak. Soal pembayaran pajak, mungkin itu bagian dari penarikan karcis,” tambahnya.

Lebih lanjut, Gendut mengatakan bahwa proses tersebut terjadi sebelum pandemi Covid-19, saat Kepala Dinas masih dijabat oleh Bu Heni. Setelah itu, jabatan Kepala Dinas digantikan oleh Pak Haris.

“Jadi yang menandatangani buku-buku itu adalah Pak Haris,” terangnya.

( gik)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *