Blitar, JendelaDesa.com – Tidak datang dengan sendirinya, suasana ketenangan dan kedamaian tercipta dengan perjuangan dari diri sendiri, selain tanpa putus untuk bersyukur juga selalu mendekatkan diri kepada Gusti Kang Murbeng Dumadi atau Tuhan Yang Maha Esa serta menjaga keseimbangan dengan alam.Lakon Wahyu Makutarama dalam pagelaran wayang kulit dengan Ki Dalang Deni Sableng, sarat dengan penyampaian pesan – pesan pencarian makna dan tujuan hidup, dimana pada saat ini banyak para satria, raja atau pemimpin yang telah mengabaikannya.Kisah pencarian yang dilakukan oleh salah satu tokoh dalam dunia pewayangan untuk melahirkan ketentraman dan ketenangan bagi kerajaannya, merupakan kandungan dari cerita Wahyu Makuratama, mengkisahkan konsistensi perjuangan Arjuna dengan timpaan berbagai ujian untuk mendapatkan anugerah yang bisa mengangkat kekuasaannya secara spiritual maupun kebijaksanan.
“Kresna yang merubah menjadi Begawan mengerti bahwa Arjuna paling pantas menerima Wahyu Makutarama, memberikan nasihat dan menyampaikan ajaran bahwa pemimpin itu tugasnya mengayomi rakyatnya, tetapi tidak mudah karena harus menghadapi rintangan dan ujian,” tutur Sutomo salah seorang penonton mengaku dari dulu sangat menyukai pertunjukan wayang kulit sampai saat ini.(5/9).
Lakon pertunjukan wayang kulit yang digelar di kantor desa Tuliskriyo Jl Raya Blitar-Tulungagung, desa Tuliskriyo, kecamatan Sanankulon, kabupaten Blitar, untuk memperingati HUT Kemerdekaan RI Ke 80, menggambarkan sangat dibutuhkan kehadiran figur pemimpin yang memiliki kejujuran, akuntabilitas dan etika yang kuat dalam menjalankan tugas maupun tanggung jawab serta mampu menyelesaikan permasalahan – permasalahan.
Penerimaan wahyu merupakan simbol kedalaman spiritual dan kebijaksanaan, idealnya hanya bisa dilakukan oleh satria atau raja yang memiliki keikhlasan sebagai pemimpin, seiring dengan datangnya kalabendu sebuah periode kegelapan, kesulitan, berkuasanya angkara murka, degradasi moralitas, merajalela ketidakadilan dan semakin carut marutnya tatanan ekonomi.Tidak hanya itu, kalabendu merupakan masa dimana kejahatan dan kebaikan sulit dibedakan, banyak orang memiliki kemampuan serta kepandaian, namun digunakan untuk menipu, mencelakai maupun menindas orang lain hingga merebaknya kefrustasian sosial.
Pertunjukan wayang kulit tidak hanya sebatas gelaran hiburan, namun warisan budaya tak benda oleh UNESCO pada tahun 2003, merupakan media silaturahmi dan edukasi yang mana pada pertunjukan menjadi momen untuk berkumpul dan berdiskusi tentang jalannya cerita dan mengambil hikmah yang dikandungnya.
Sayangnya, warisan kesenian tradisional Nusantara semakin hari terlihat semakin berat menghadapi pergeseran dominasi budaya global yang dirasa lebih menarik bagi generasi muda. Dan harus diakui, pada kenyataannya seni tradisional wayang kulit pada saat ini diminati oleh kalangan tertentu yang mengerti nilai filosofis dan makna didalam cerita yang disampaikan dalam pertunjukan.(Ans).